Langsung ke konten utama

Transformasi Pasar Saham Indonesia: Dari Bursa Efek Batavia ke IHSG

Pasar saham Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Pasar saham Indonesia dimulai pada tahun 1912, ketika didirikan Bourse voor Effectenhandel te Batavia (BEVB) atau Bursa Efek Batavia di Jakarta. Bursa ini merupakan bursa efek pertama di Asia Tenggara dan menjadi tempat perdagangan saham, obligasi, dan surat berharga lainnya. Bursa ini beroperasi hingga tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia dan menutup semua kegiatan pasar modal.


Setelah Indonesia merdeka, pasar saham Indonesia kembali dibuka pada tahun 1952, dengan nama Bursa Efek Jakarta (BEJ). Bursa ini berada di bawah pengawasan Departemen Keuangan dan hanya memiliki 13 perusahaan tercatat. Pada tahun 1977, pemerintah membentuk Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebagai lembaga independen yang bertugas mengatur dan mengawasi pasar modal Indonesia. Pada tahun 1989, pemerintah juga mendirikan Bursa Efek Surabaya (BES) sebagai bursa efek kedua di Indonesia.


Pada tahun 1995, BEJ dan BES mengadopsi sistem perdagangan elektronik yang disebut Jakarta Automated Trading System (JATS) dan Surabaya Automated Trading System (SATS). Sistem ini memungkinkan transaksi saham dilakukan secara online dan real time. Pada tahun 2007, BEJ dan BES bergabung menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bursa efek tunggal di Indonesia. BEI memiliki dua papan utama, yaitu Papan Utama dan Papan Pengembangan, serta dua papan khusus, yaitu Papan Akselerasi dan Papan Percontohan.


Perubahan Nama dari JCI ke IHSG

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah indeks utama yang digunakan untuk mengukur performa pasar saham Indonesia. IHSG diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April 1983 sebagai indikator pergerakan harga saham di BEJ. Indeks ini mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di BEI. Hari dasar untuk perhitungan IHSG adalah tanggal 10 Agustus 1982.


Pada awalnya, IHSG menggunakan metode perhitungan sederhana berdasarkan harga penutupan saham. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan akan perhitungan yang lebih akurat, metode perhitungan yang lebih canggih diperkenalkan. Saat ini, IHSG menggunakan metode perhitungan yang melibatkan kapitalisasi pasar saham (market capitalization weighted index).


Pada tahun 1995, IHSG mengalami perubahan nama menjadi Jakarta Composite Index (JCI). Perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan standar internasional dan meningkatkan citra pasar saham Indonesia di mata dunia. Namun, pada tahun 2007, setelah terjadi merger antara BEJ dan BES, nama JCI kembali diganti menjadi IHSG. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebingungan dan menyatukan identitas pasar saham Indonesia.


Jumlah Saham JCI Tercatat Pertama Kali

JCI atau IHSG merupakan indeks yang mencerminkan pergerakan harga saham secara keseluruhan di pasar modal Indonesia. Jumlah saham yang tercatat di BEI saat JCI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1983 adalah 90 saham. Jumlah ini terdiri dari 64 saham yang tercatat di BEJ dan 26 saham yang tercatat di BES. Jumlah saham yang tercatat di BEI terus bertambah seiring dengan perkembangan pasar saham Indonesia. Pada tahun 2023, jumlah saham yang tercakup dalam IHSG mencapai lebih dari 500 saham, mencakup perusahaan-perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang signifikan.


CAGR IHSG sampai Sekarang

CAGR atau Compound Annual Growth Rate adalah ukuran pertumbuhan majemuk tahunan dari suatu investasi. CAGR dapat digunakan untuk mengukur kinerja jangka panjang dari suatu indeks saham, seperti IHSG. CAGR dapat dihitung dengan rumus berikut:


CAGR adalah sama dengan nilai akhir investasi dibagi nilai awal investasi, dipangkatkan dengan satu dibagi jumlah tahun investasi, dikurangi satu.


Di mana:

- Nilai akhir investasi adalah nilai IHSG pada akhir periode yang ingin diukur

- Nilai awal investasi adalah nilai IHSG pada awal periode yang ingin diukur

- Jumlah tahun investasi adalah selisih tahun antara akhir periode dan awal periode yang ingin diukur


Untuk menghitung CAGR IHSG sampai sekarang, kita perlu mengetahui nilai IHSG pada awal periode dan akhir periode yang ingin kita ukur. Misalnya, jika kita ingin menghitung CAGR IHSG dari tahun 1983 hingga 2023, maka kita perlu mengetahui nilai IHSG pada tahun 1983 dan 2023.


Berdasarkan data yang saya temukan dari sumber web, nilai IHSG pada tahun 1983 adalah 100, sedangkan nilai IHSG pada tahun 2023 adalah 7.272,80. Dengan menggunakan rumus di atas, kita dapat menghitung CAGR IHSG dari tahun 1983 hingga 2023 sebagai berikut:


CAGR = 7.272,80/100^(1/40)-1

CAGR = 0,1131

CAGR =11,31%


Jadi, CAGR IHSG dari tahun 1983 hingga 2023 adalah sebesar 11,31%. Artinya, IHSG tumbuh rata-rata sebesar 11,31% per tahun selama 40 tahun terakhir.


Beberapa Saham dari Jaman JCI yang Masih Bertahan

Dari 90 saham yang tercatat di BEI saat JCI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1983, tidak semua saham masih bertahan hingga saat ini. Beberapa saham mengalami delisting atau penghapusan pencatatan, baik karena alasan sukarela maupun paksa. Beberapa saham juga mengalami go private atau penarikan saham dari publik, baik karena alasan restrukturisasi, akuisisi, atau lainnya.


Namun, ada juga beberapa saham yang masih bertahan dan terus beroperasi hingga saat ini. Beberapa saham tersebut antara lain adalah:

- PT Astra International Tbk (ASII), perusahaan konglomerat yang bergerak di berbagai bidang usaha, seperti otomotif, alat berat, agribisnis, jasa keuangan, teknologi informasi, dan infrastruktur.

- PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), bank swasta terbesar di Indonesia yang menyediakan berbagai produk dan layanan perbankan, seperti tabungan, deposito, kredit, kartu kredit, e-banking, dan lainnya.

- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), bank BUMN terbesar di Indonesia yang fokus pada pelayanan sektor mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta memiliki jaringan kantor cabang terluas di Indonesia.

- PT Gudang Garam Tbk (GGRM), produsen rokok kretek terbesar kedua di Indonesia yang memiliki berbagai merek rokok, seperti Gudang Garam, Surya, GG Mild, dan lainnya.

- PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), produsen makanan dan minuman terbesar di Indonesia yang memiliki berbagai produk unggulan, seperti Indomie, Pop Mie, Sarimi, Supermi, Indomilk, dan lainnya.


Saham-saham di atas merupakan contoh saham dari jaman JCI yang masih bertahan hingga saat ini. Saham-saham ini memiliki kinerja yang baik dan menjadi pilihan investasi bagi banyak investor. Saham-saham ini juga memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian dan pembangunan Indonesia.

Komentar