Langsung ke konten utama

Kiamat Batubara Akibat Energi Baru Terbarukan Kian Nyata

Energi adalah salah satu faktor penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanpa energi, banyak aktivitas yang tidak dapat dilakukan, seperti transportasi, industri, komunikasi, dan lain-lain. Namun, sumber energi yang digunakan oleh manusia selama ini sebagian besar berasal dari energi fosil, yaitu energi yang dihasilkan dari sisa-sisa makhluk hidup yang terkubur di dalam tanah selama jutaan tahun. Energi fosil meliputi batubara, minyak bumi, dan gas alam.


Energi fosil memiliki beberapa kelebihan, seperti mudah didapatkan, murah, dan memiliki kapasitas besar. Namun, energi fosil juga memiliki banyak kekurangan, seperti tidak dapat diperbaharui, menyebabkan pencemaran lingkungan, dan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Menurut International Energy Agency (IEA), sekitar 80% emisi karbon dioksida global berasal dari pembakaran energi fosil.


Oleh karena itu, banyak negara yang mulai beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan, yaitu energi yang dihasilkan dari sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui, seperti matahari, angin, air, panas bumi, dan biomassa. Energi baru terbarukan memiliki beberapa keunggulan, seperti ramah lingkungan, tidak menghasilkan emisi, dan tidak terbatas. Namun, energi baru terbarukan juga memiliki beberapa tantangan, seperti intermitensi, biaya, dan infrastruktur.


Salah satu energi fosil yang paling terancam oleh perkembangan energi baru terbarukan adalah batubara. Batubara adalah bahan bakar utama untuk pembangkit listrik di banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batubara, yaitu sebesar 67,21% pada 2022.


Namun, batubara juga merupakan sumber energi yang paling kotor dan berbahaya bagi lingkungan. Batubara menghasilkan emisi karbon dioksida yang paling tinggi dibandingkan energi fosil lainnya, yaitu sekitar 1,6 ton per megawatt jam (MWh). Selain itu, batubara juga menghasilkan polutan lain, seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, partikulat, dan merkuri, yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan, kanker, dan kerusakan saraf.


Karena itu, banyak negara yang sudah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan batubara dan meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan. Misalnya, China, yang merupakan produsen dan konsumen batubara terbesar di dunia, telah menetapkan target untuk mencapai karbon netral pada 2060, yang berarti mengurangi emisi karbon dioksida hingga seimbang dengan penyerapan karbon. Untuk mencapai target ini, China harus mengurangi ketergantungan pada batubara dan meningkatkan kapasitas energi baru terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan nuklir.


Hal serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Jepang, dan Korea Selatan, yang juga telah mengumumkan target untuk mencapai karbon netral pada 2050 atau 2060. Bahkan, beberapa negara sudah mulai menutup atau menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Spanyol.


Indonesia, sebagai negara penghasil dan pengguna batubara, juga tidak mau ketinggalan dalam transisi energi. Pada September 2022, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang mengatur tentang tidak lagi mengembangkan pembangkit listrik tenaga batubara yang baru. Selain itu, Indonesia juga telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan menjadi 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.


Transisi energi dari batubara ke energi baru terbarukan ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Tekanan global untuk menanggulangi perubahan iklim dan mencapai kesepakatan Paris, yang mengharuskan negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 2°C.
  • Perkembangan teknologi dan inovasi yang membuat energi baru terbarukan semakin efisien, murah, dan andal. Misalnya, biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan angin telah turun sekitar 80% dan 40% sejak 2010.
  • Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah dan beragam di Indonesia, seperti sinar matahari, angin, air, panas bumi, dan biomassa, yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi baru terbarukan.
  • Kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan energi baru terbarukan, seperti memberikan insentif fiskal, subsidi, tarif, dan regulasi yang menguntungkan bagi produsen dan konsumen energi baru terbarukan.


Transisi energi dari batubara ke energi baru terbarukan ini tentu saja memiliki dampak yang signifikan bagi industri batubara, baik di dalam maupun luar negeri. 

Beberapa dampak yang dapat dirasakan antara lain:

  • Penurunan permintaan dan harga batubara di pasar global, yang akan mempengaruhi pendapatan dan profitabilitas perusahaan batubara. Menurut IEA, permintaan batubara global diperkirakan akan menurun sekitar 5% pada 2020 dan 2,5% pada 2021, akibat pandemi Covid-19 dan peningkatan penggunaan energi baru terbarukan. Sementara itu, harga batubara global juga mengalami fluktuasi yang tinggi, dari US$ 66,04 per ton pada Januari 2020, turun menjadi US$ 50,63 per ton pada April 2020, dan naik lagi menjadi US$ 81,86 per ton pada Desember 2020.
  • Penurunan nilai saham dan investasi pada perusahaan batubara, yang akan mempengaruhi kinerja dan reputasi perusahaan batubara. Menurut laporan Carbon Tracker, nilai pasar perusahaan batubara global telah turun sekitar 76% sejak 2011, dan diperkirakan akan terus menurun seiring dengan penurunan permintaan dan harga batubara. Sementara itu, banyak investor yang mulai menjauh dari perusahaan batubara, karena dianggap berisiko tinggi dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip investasi berkelanjutan.
  • Peningkatan risiko sosial dan lingkungan akibat penambangan dan pembakaran batubara, yang akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Menurut laporan Greenpeace, penambangan batubara di Indonesia telah menyebabkan kerusakan lahan, hutan, dan ekosistem, serta konflik agraria dan hak asasi manusia. Sementara itu, pembakaran batubara di Indonesia telah menyebabkan polusi udara, asam hujan, dan perubahan iklim, yang berdampak pada kualitas hidup dan kematian dini masyarakat.


Untuk menghadapi dampak-dampak tersebut, perusahaan batubara harus melakukan adaptasi dan transformasi bisnis, agar dapat bertahan dan bersaing di era transisi energi. 

Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:

  • Diversifikasi portofolio usaha ke sektor energi baru terbarukan, seperti membangun atau bermitra dengan pembangkit listrik tenaga surya, angin, atau panas bumi, yang memiliki prospek yang cerah di masa depan.
  • Meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasional, seperti menggunakan teknologi digital, otomasi, dan analitik, yang dapat mengurangi biaya, meningkatkan kualitas, dan mengoptimalkan sumber daya.
  • Mengurangi dampak lingkungan, seperti menerapkan teknologi bersih, seperti carbon capture and storage (CCS), yang dapat mengurangi emisi karbon dioksida dari pembakaran batubara, atau revegetasi, yang dapat memulihkan lahan bekas tambang.
  • Meningkatkan tanggung jawab sosial, seperti memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar, seperti memberikan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.


Kesimpulan

Energi baru terbarukan kian nyata menjadi ancaman bagi industri batubara, yang menghadapi penurunan permintaan, harga, nilai, dan reputasi, serta peningkatan risiko sosial dan lingkungan. Perusahaan batubara harus melakukan adaptasi dan transformasi bisnis, agar dapat bertahan dan bersaing di era transisi energi. Energi baru terbarukan adalah masa depan yang tidak dapat dihindari, dan perusahaan batubara harus siap menghadapinya.


Demikian artikel yang saya buat tentang kiamat batubara akibat energi baru terbarukan kian nyata. Saya harap artikel ini bermanfaat dan informatif bagi Anda. Terima kasih dan sampai jumpa lagi. 

Komentar